Pada pertengahan Desember 2012, kami dihubungi oleh seseorang yang mengaku sebagai wartawan Harian Jogja. Dirinya membaca blog "Semprong Mejing", dan tertarik untuk datang dan wawancara dengan kami. Tentunya hal ini cukup mengejutkan, karena usaha yang kami jalankan bukanlah usaha besar yang menggunakan modal besar. Usaha ini merupakan usaha kecil yang berawal dari usaha industri rumah tangga dengan modal yang minim.Namun wartawan tersebut meyakinkan kami, bahwa usaha ini memang layak untuk dipublikasikan melalui koran Harian Jogja.
Kemudian setelah berbicara melalui telepon, disepakati tanggal 29 Desember 2012 wartawan tersebut akan datang. Dan memang betul, jam 16.00 WIB, di saat hujan turun deras mengguyur seluruh wilayah Yogyakarta, wartawan tersebut datang. Dimulailah wawancara dan pengambilan foto produk pada sore itu.
Berikut hasil tulisan yang dimuat Harian Jogja 13 Januari 2013 :
Renyah Semprong
Ambarketawang
Serba tak nyambung. Begitu kira-kira gambaran bisnis yang dijalankan
Farida Yuliana ini. Tentu saja tak nyambung, ia yang sarjana jebolan Teknologi
Pertanian, banting setir menekuni usaha kue semprong. Berikut ini laporan wartawan
Harian Jogja, Anissa Nurul Kurniasari.
Juli
2011, Farida memulai usaha. Mantan mahasiswa Universitas Soedirman Purwokerto
ini menuturkan ia belajar membuat kue semprong dari sang ibu. “Ibu saya
bergelut di usaha ini selama 15 tahun,” katanya pekan lalu.
Sang
ibu memasarkan produknya di kampung halamannya di Cilacap. Farida lantas
berpikir kenapa tidak membawa kue semprong ke Jogja. Resep dari ibunya lantas
dibawa ke Jogja dan diuji coba.
Perempuan
yang kini tinggal di Dusun Mejing, Desa Ambarketawang, Gamping Sleman ini kemudian menamai kue semprong
buatannya dengan Semprong Mejing.
“Dulunya
saya hanya melihat-lihat ibu saya saat membuat kue semprong di rumah orangtua
saya di Purwokerto. Kemudian setelah menikah dan saya tinggal di Mejing. Alasan
saya untuk membuka usaha kue semprong karena belum ada yang membuatnya di
sini,” katanya.
Tak
perlu waktu lama untuk berhasil membuat kue semprong yang manis dan renyah.
Farida hanya perlu sekali mencoba dan hasilnya baik. Ia meminta teman-teman dan
para tetangga untuk mencoba semprong buatannya.
“Katanya
enak dan renyah, lalu saya mulai menerima pesanan dan merancang pengembangan
lebih luas,” ujarnya.
Dengan
bantuan suami dan dua pegawainya, Farida lancar memenuhi semua pesanan.
“Pertama kali istri saya mencoba membuat kue semprong dan hasilnya cukup baik.
Dengan tekstur yang lembut dan rasa yang renyah. Saya mendukungnya karena
selain mengisi waktu juga meneruskan usaha orangtuanya yang di Cilacap. Dan
mendapat respon baik di masyarakat,” ujar Adimas Rahardian, suami Farida.
Untuk
rasa, kue semprong milik Farida baru memproduksi yang original. Saat ini Farida
mampu memproduksi rata-rata 15 dus per hari dengan isi 300 gram per bungkus. Untuk
kue semprongnya dihargai Rp35.000 per dus. Jika mendekati hari raya biasanya
pesanan membanjir.
“Apalagi
kalau Lebaran lebih banyak lagi yang memesan kue semprong ini. Bisa sampai 200
dus per minggunya. Untuk satu dus saja membutuhkan waktu satu jam proses
memanggangnya,” ucap Farida yang juga anggota Asosiasi Pengusaha Makanan dan
Minuman (ASPIKA) Kabupaten Sleman ini.
Untuk
oleh-oleh atau pesanan, kue semprong miliknya selain dipasarkan di Jogja juga
di kota-kota lain seperti Jakarta, Depok dan Surabaya. Selain oleh-oleh dan
pesanan Lebaran, Semprong Mejing juga dipesan untuk acara-acara tertentu
seperti arisan keluarga dan acara hajatan lainnya.
Khusus wilayah Gamping,Sleman, Semprong Mejing bisa didapat di soto sawah Pak Slamet dan MM Gamping swalayan.
Modal Rp5 Juta
Pembuatan kue
semprong diakui Farida membutuhkan waktu yang cukup lama. Mengawali bisnis ini,
Farida menggelontorkan modal Rp 5 Juta untuk bahan baku dan peralatan. Kini
rata-rata laba bersih yang didapatnya Rp500.000 per bulan di luar pesanan.
“Jika Lebaran bisa memproduksi ratusan dus per pekannya, omzetnya tentu lebih
besar,” ujarnya.
Soal proses pembuatan Farida
menyebut waktu yang lama memang diperlukan untuk mempertahankan hasil yang
baik. Kurang lebih seluruh proses adalah empat jam.
“Kedepannya kami
akan menambah varian rasa seperti wijen, cokelat dan kurma. Kebetulan kami
menanam pohon kurma di samping rumah. Kemungkinan rasa kurma pada kue semprong
kami akan ada tahun ini. Kalau untuk rasa nangka,durian dan lainnya itu sudah
banyak di pasaran. Makanya kami ingin membuat inovasi baru dengan varian rasa
kurma di dalamnya,” angan wanita kelahiran 15 Juli 1983 ini. (redaksi@harianjogja.com)
Sumber : Harian Jogja 13 Januari 2013